sore hari ini, matahari bersembunyi di balik mega mendung.

kerikil sedang berzikir, saat sesuatu menimpa kepalanya yang sedang khusyuk itu. ia berhenti dan bertanya: siapakah engkau wahai yang membasahi ubun-ubun?

tamu tak diundang itu menjawab:

salam takzim untukmu, dan saudaramu yang pernah bertasbih di tangan Rasulullah, Ash-shiddiq dan Dzun-nurain itu.

perkenankan kami menceritakan diri…

kami adalah hujan.

kami anak-anak awan: putih awalnya, menghiasi lazuardi. makin tua mengandung, makin muram wajahnya, karena makin berat bebannya.

di akhir waktunya, lahirlah kami. air mata kebahagiaan dari sela-sela lekukan wajahnya, turun menuju bumi manusia.

kami sesungguhnya cucu-cucu samudera: bergelombang, luas dan dalam. tempat ikan dan karang mencari penghidupan. hidupnya untuk menjadi, bukan untuk pembuktian eksistensi. adalah untuk memberi, walau akan menghilang dari… karena selalu yakin bahwa muara takkan pernah berhenti.

kami adalah air. awan adalah air, hujan adalah air, sungai adalah air, danau adalah air, samudera adalah air, kami tak takut berubah, kami tak henti mengubah. karena kami, selalu adalah air sebelum jadi yang lain.

duhai, kami sejatinya kekasih: yang dirindukan sawah-sawah yang kering kerontang yang diinginkan pohon-pohon meranggas yang dinanti katak-katak selagi berhibernasi yang diharap bunga-bunga taman surga

kami adalah pemimpin: bertahan dan setia. walaupun selalu ada yang bertanya di musim kemarau: “Ya Rabb, begitu panas dan berdebu. Kapankah datangnya hujan?” meskipun lain waktu, kala kami datang menyambangi agak lama, mereka merajuk: “o Tuhan, basah dan becek dimana-mana. Bilakah kembali cerah?” kami mendengar, kami peduli. tapi kami hanya taat pada Sang Pemberi Rizki.

kami itu pergerakan: sejak bulir pertama yang pecah bertebaran ketika menyentuh bumi, hingga mereka yang bertahan sampai akhir gerimis. kami akan terus mengalir, maju. mengisi sela bebatuan, membasahi pori, memasuki lubang-lubang terkecil, menyempurnakan tanah menjadi tanah air.

wahai kerikil, kami bukan sekedar buih di pantai kakek moyang kami. kami adalah jamaah hujan, yang menumbuhkan pasukan pelangi.

aku miskin, tapi kami kaya. aku terasing, tapi kami dikenal dimana-mana.

inilah kami, lalu siapakah sesungguhnya engkau?