Tersebutlah sepotong sandal.

Putih, berkelir biru. Untuk dipakai kaki kiri.

Sendiri. Tergeletak di pojok gudang, tak terpakai, masih baru tapi berdebu. Ia hidup, tapi tak lengkap untuk dipakai, tak sempurna untuk bermanfaat.

Hingga ia dipertemukan dengan sepotong sandal lain. Putih, berkelir hijau. Untuk dipakai bagian kaki kanan.

Sepasang sandal itu memang berbeda bagiannya, kiri dan kanan. Tapi justru perbedaan itulah yang membuatnya lengkap. Sepasang sandal itu memang berbeda warna, tapi tak apa. Mereka memang hadir bersama tuk saling melengkapi. Nanti, seiring perjalanan bersama, sang biru bisa menambahi kelir hijau, sementara si hijau bisa menambahi warna biru di kelirnya.

Jadilah mereka sepasang sandal putih berkelir biru-hijau. Mereka sandal wudlu, juga sandal gunung.

Bersama ternyata menyenangkan. Berjalan bersama, beriringan. Engkau berayun di depan, biar aku yang di belakang. Ada saatnya aku mengayun di depan, engkau mengalah ke belakang. Mereka menyebutnya harmoni.

Walaupun ada saja yang bilang mereka ini barang rendahan, sebab selalu diinjak-injak orang.

Padahal, bersama-sama, punggung merekalah yang diandalkan kaki-kaki putih, dan suci: agar tetap bersih, tetap aman dari duri-duri setapak. Padahal, bersama-sama, merekalah fondasi yang mendukung kehendak-kehendak yang menjulang.

Ada saja yang bergumam mereka ini sepasang benda yang murahan, tak berguna.

Biarlah itu mereka jawab dengan ribuan jejak-jejak berdebu di jalanan. Sudahlah, biar tapak-tapak prasasti merekalah yang akan berbicara, mengenai momentum yang mereka patri secara abadi.

*untuk bapak-ibu: sepasang sandal berkelir biru-hijau. Terima kasih untuk mengingatkan kembali tentang betapa beruntungnya memiliki orangtua seperti kalian.