Matahari sudah mulai menyengat di pelipis, tapi bus malam yang kunaiki ini baru sampai tanjakan Gentong. Biasanya jam segini aku sudah tertidur pulas di kasur di rumah Sumedang. Ada sms masuk dari Bapa, “udah sampai mana?”. “Gentong”, kujawab saja dengan singkat. Tak ada jawaban lagi, mungkin beliau sudah tahu aku akan mengalami cobaan yang berat.

Biasanya aku pulang naik bus BE dari Jogja, tapi kadang-kadang pakai KD seperti sekarang ini kalau tiket BE sudah habis. Tidak seperti BE dengan jalur utara yang lewat Sumedang sebelum ke Bandung, KD memilih rute selatan via Nagrek. Alhasil aku harus berhenti di gerbang tol Cileunyi sebelum melanjutkan perjalanan menggunakan angkot 04 ke arah Sumedang.

KD bukan armada kemarin sore, tapi entah kenapa hari ini aku kebagian bus yang bener-bener payah. Kecepatan rata-rata di bawah 40 km/jam. Kutengok ke belakang, asap knalpotnya hitam pekat. Supir sudah terlihat bercucuran keringat berusaha memacu kendaraannya untuk melaju lebih kencang. Tapi sekuat apapun ia berusaha tetap saja tak bisa membuat bus ini jalan lebih cepat.

Tanjakan Gentong adalah tantangan terberatnya. Selain Nagrek, ini adalah tanjakan paling legendaris di jalur selatan Jawa Barat. Mulai dari Rumah Makan Gentong di ujung paling bawah, sepenggal jalan ini sudah memakan banyak korban di kecuramannya. Tampaknya bus ini tak akan sanggup menjalani ujian hidup ini. Seperti halnya John Terry yang terpeleset saat mengambil penalti di final Liga Champions 2008, bus ini pun tampaknya akan mengalami nasib tragis yang sama.

Benar saja, setelah mencoba beberapa saat dengan nafas ngos-ngosan, pak supir malang sudah menyerah memacu kendaraannya. Bus sudah pasrah. Berhenti di tengah-tengah tanjakan dengan kelokan tajam. Mobil-mobil lain di belakang sudah membunyikan klaksonnya tapi tentu saja itu sia-sia. Bus sudah tak bisa jalan lagi. Apalagi di tanjakan ini.

Supir akhirnya memasang rem tangan dan mematikan mesin. Ia berdiri di depan bis, menghadap ke penumpang. Raut mukanya sudah menunjukkan kelelahan dari pertarungannya hari ini, tapi juga dari bekas menyupiri trayek Jogja-Bandung PP tanpa istirahat berarti selama beberapa hari terakhir ini. Ia memanfaatkan situasi mudik karena biasanya bayarannya lebih banyak, agar bisa membawa pulang THR buat anak istri di kampung. Setelah menyapu pandangan ke penumpangnya, ia membuka suara dengan parau, “Bapak, Ibu, mohon maaf bus mogok. Silakan turun untuk menunggu bus di belakang yang bisa mengangkut”.

Aku sudah tahu ini akan terjadi, tapi tetap saja ada kecewa. Aku sudah menghabiskan waktu lebih dari 12 jam di perjalanan, dan jam segini belum sampai juga di rumah. Pantat sudah panas. Punggung sudah berteriak ingin rebahan. Leher sudah capek terlipat layaknya origami tak ditopang bantal. Akhirnya aku turun dan menunggu. Seperti menunggunya Zaenab pada Si Doel. Entah akan terbalas atau tidak.

Setelah duduk di pinggir jalan selama setengah jam, akhirnya datang juga bus yang mau mengangkut kami. Berhubung mereka juga jalan dengan kapasitas hampir penuh, kami harus berdesak-desakan masuk bus. Saya kebagian di lantai belakang, persis di depan toilet bus. Bau khas pesing terkena panas mesin menusuk hidung. Keringat sesama penumpang sudah bercampur dengan pengharum ac yang sudah tak dingin lagi.

Ah, perjuangan untuk mudik.