Ramadan

Tahun ini adalah Ramadan keempat saya jauh dari tanah air. Rasanya baru kemarin saya menginjakkan kaki di Nottingham, Inggris. Saya tiba di sini bulan Maret 2017, mendarat di bandara internasional Birmingham setelah menempuh perjalanan lebih dari 16 jam dari Jakarta via Amsterdam.

Dibandingkan dengan tiga tahun lalu, ada beberapa perubahan dalam kehidupan saya. Anggota keluarga kami bertambah seorang dengan kelahiran putra kedua pada tahun 2018. Kami juga pindah rumah kontrakan dari wilayah Dunkirk ke daerah Radford. Harga sewa rumah di daerah ini lebih murah dan lokasinya lebih dekat dengan komunitas orang Indonesia dan komunitas Muslim. Alhamdulillah.

Selain perbedaan kondisi keluarga, Ramadan tahun ini diwarnai dengan sebuah peristiwa global yang akan tercatat di sejarah umat manusia modern. Sebuah pandemi, alias pagebluk.

Seperti halnya negara-negara lain, Britania Raya tidak bebas dari penyebaran SARS-CoV-2 dan penyakit Covid-19. Bahkan per 17 Mei 2020, menurut data terbaru, total kasus terkonfirmasi di Britania Raya mencapai lebih dari 240.000. Korban meninggal sudah melebihi 30.000 orang. Secara global, jumlah ini hanya kalah dari Amerika Serikat.

Untuk mengatasi penyebaran virus ini, pemerintah Britania Raya mengeluarkan kebijakan lockdown seperti halnya banyak negara lain. Pesan yang disampaikan oleh Perdana Menteri Boris Johnson adalah Stay Home, Protect NHS, Save Lives. Tetap di rumah, lindungi NHS, selamatkan nyawa. Selama beberapa minggu, warga non pekerja kunci tidak boleh keluar rumah kecuali untuk: belanja kebutuhan sehari-hari dan obat ke apotek, olahraga sendirian, atau pergi ke rumah sakit. Pekerja kunci adalah mereka yang bekerja sebagai dokter, perawat, kurir, kasir supermarket, dan lainnya.

Semua bisnis non-esensial harus ditutup. Pekerja disarankan bekerja dari rumah. Sekolah ditutup kecuali untuk anak pekerja kunci. Rumah-rumah ibadah ditutup.

Minggu lalu, kebijakan ini agak dilonggarkan. Sekarang, warga bisa olahraga barengan dengan anggota keluarga. Selain itu, kami boleh jalan-jalan atau piknik ke taman dan ruang terbuka luar. Pekerja yang tidak mungkin bekerja dari rumah, seperti di bidang konstruksi, didorong untuk bekerja kembali. Seiring dengan penurunan jumlah infeksi, kebijakan ini kemungkinan akan terus diperlonggar.

Walaupun tanpa pagebluk, pengalaman Ramadan di sini berbeda dengan kebiasaan di tanah air. Tidak ada azan menggunakan pengeras suara. Tak ada ngabuburit membeli es kelapa muda di pinggir jalan. Tidak ada pemuda yang membangunkan sahur keliling kampung. Tak ada acara buka bersama alumni SD angkatan 1999.

Selain itu, durasi puasa di daerah lintang utara seperti Inggris bisa berubah banyak bergantung musim. Tahun 2017 lalu saat pertama kali saya mengalami puasa di sini, waktu subuh kira-kira pukul 3 pagi, dan magrib sekitar pukul 21.30. Jadi, durasi puasa bisa lebih dari 18 jam. Tahun ini agak lebih pendek, tapi tetap lebih dari 17 jam. Ini adalah tantangan tersendiri.

Dengan adanya kebijakan lockdown dan situasi pagebluk, masjid pun ditutup. Muslim Council of Britain mengeluarkan panduan Ramadan di Rumah. Tak ada salat lima waktu berjamaah. Tak ada iftar bersama. Tak ada tarawih. Tak ada iktikaf di masjid.

Tanpa ibadah yang bersifat berjamaah di masjid, Ramadan kali ini terasa lebih hening. Lebih banyak fokus pada diri sendiri dan keluarga. Kegiatan ramadan tetap bisa dilakukan di rumah. Saya dan istri mengusahakan agar suasananya tetap terasa normal. Kami tetap tadarus. Kami berusaha tarawih tiap hari. Istri saya tetap masak kolak pisang dan ubi.

Aspek sosial Ramadan yang kami lakukan paling tidak ada dua hal: saling berbalas kirim makanan buka puasa dengan tetangga kami yang baik sekali dan tadarus daring tiga kali sepekan, ibu-ibu dan bapak-bapak terpisah.

Alhamdulillah, dengan kemajuan teknologi, banyak rutinitas yang biasa dilakukan Ramadan bisa dilakukan secara daring. Teknologi streaming dan panggilan video sangat membantu kami untuk mendengarkan ceramah, tadarus, dan silaturahim dengan teman dan keluarga. Tahun lalu, kami tidak mudik ke Indonesia dan setelah salat Idul Fitri kami sungkem virtual via panggilan video kepada orang tua kami. Tahun ini pun akan sama. Insya Allah.

Saya sadar bahwa pagebluk, pembatasan sosial (social distancing), dan kebijakan lockdown sangat berpengaruh terhadap penghidupan banyak masyarakat dan ekonomi secara umum. Kami bersyukur bahwa Allah masih memberikan nikmat sehat dan rezeki makan tiap hari. Puasa, dengan atribut menahan nafsunya, mudah-mudahan membuat kami bisa lebih peka terhadap kondisi warga yang lemah, kekurangan, dhuafa. Zakat, dengan atribut filantropinya, semoga menjadikan kami lebih ringan berbagi rezeki dari Allah.

Saya bukan epidemiolog, bukan dokter, bukan ekonom, bukan pula pengambil kebijakan. Saya hanya bisa diam di rumah. Saya hanya bisa membantu tetangga semampu saya. Saya hanya bisa berdoa. Doa yang saya panjatkan adalah agar Allah tidak membebankan kepada kami beban berat seperti yang dibebankan kepada orang-orang sebelum kami dan agar Allah tidak memikulkan pada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.

Allahumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa fa’fuanni.