Empat belas Februari 2024, saya akan menitipkan suara saya pada Anies. Insya Allah.

Ada beberapa alasan mengapa saya memilih Anies. Alasan pertama adalah reputasi dan rekam jejak yang baik.

Waktu saya masih kecil, Presiden Habibie adalah ikon orang pintar. Ibu saya sering berujar, “Nak, nanti kalo sudah besar kamu jadi orang pintar seperti Pak Habibie ya?”. Mau tidak mau, presiden adalah contoh. Foto Presiden terpajang di kelas sekolah di seantero Indonesia. Gerak-geriknya terekam tiap hari dan tersebar di berbagai media.

Anies berasal dari keluarga pejuang dan pendidik. Ia lahir di Kuningan, besar di Jogja, dan sekolah tinggi hingga ke Amerika. Bakat kepemimpinannya sudah terlihat sejak masih belia. Ia pernah menjadi rektor universitas dalam usia muda. Ia merintis Indonesia Mengajar, mengirim lebih dari 1000 pemuda-pemudi mengajar di berbagai pelosok Indonesia. Anies pro pemberantasan korupsi dan KPK berintegritas.

Sebagai pejabat publik, rekam jejaknya terbukti. Saat ia menjadi menteri pendidikan, ia menghapus MOS dan perploncoan, Ujian Nasional tak lagi standar kelulusan. Sebagai Gubernur, ia merintis Jaklingko, membangun taman-taman publik, membangun JIS, meluncurkan aplikasi JAKI, membangun trotoar dan jalur sepeda.

Saya punya dua anak usia sekolah. Mereka ikut menonton debat presiden di televisi. Anak saya yang besar bertanya, “Ayah, orang-orang itu siapa sih? Kenapa mereka tampil di TV?”. Jika Anies terpilih, saya bisa menjawab kepada mereka, “Nak, nanti kalau sudah besar kamu juga jadi pintar dan baik seperti presiden kita ya”.

Alasan kedua adalah Anies memanusiakan warga.

Anies mendudukkan kembali posisi rakyat sebagai pemberi mandat. Desak Anies adalah inovasi baru di pentas politik nusantara. Di forum ini Anies menjadi obyek, dengan warga sebagai subyeknya. Berbagai kalangan ramai-ramai datang tanpa bayaran. Masyarakat bisa berkeluh-kesah, protes, mengusulkan kebijakan dan Anies mendengarkan. Tanpa sekat. Ini adalah inisiatif positif dalam kampanye politik Indonesia yang seringkali hanya berisi rapat akbar yang hanya penuh dengan monolog, yel-yel bising dan joget penghibur. Anies menghargai warga sebagai manusia yang berdaya, bukan tong kosong yang dijejali suapan nina bobo.

Anies juga memiliki rasa keadilan. Saat membangun JIS, Anies tetap memperhatikan warga Kampung Akuarium. Saat merintis Jaklingko, ia mengajak perusahaan angkot berdiskusi puluhan kali. Anies mengeluarkan puluhan izin untuk pembangunan gereja. Anies mendengarkan dan mewujudkan aspirasi warga Hindu Tamil yang belum memiliki tempat ibadah. Anies merangkul seluruh warga dari berbagai spektrum dan warna ideologi. Slogan Jakarta di masa kepemimpinannya adalah Kota Kolaborasi.

Jika saya mengkritik Anies, saya tidak takut akan terancam ketenangan, harta, atau jiwa saya. Kalau ada demonstrasi, saya menduga Anies akan berani turun langsung untuk menghadapi dan berbicara kepada demonstran bertemu muka. Lagipula, dialah yang dulu sering berdemo sewaktu masih menjadi ketua senat mahasiswa.

Anies mau menandatangani kontrak politik dengan kelompok masyarakat dan organisasi. Anies tidak takut mengadopsi kebijakan yang datang dari bawah. Anies masih punya kerendahan hati untuk mengakui bahwa dia tidak tahu sesuatu.

Salah satu momen yang cukup berkesan dari perjalanan kampanye Anies adalah ketika ada warga Kampung Bayam datang ke forum kampanye. Mereka datang lalu memeluk, menangis dan mengeluh kepada Anies bahwa mereka tidak boleh masuk ke rumah susun yang sudah dibangun untuk mereka. Tangisan, pelukan, dan keluhan itu adalah tanda kepercayaan.

Alasan selanjutnya saya memilih Anies adalah wawasannya luas, kebijakannya ilmiah, dan pikirannya mandiri.

Sebelum masuk dunia politik, ia adalah akademisi dan peneliti. Bacaannya luas. Cara berpikirnya runtut. Ia bisa menuangkan ide-ide itu ke dalam tulisan bernas.

Anies juga berani bertindak atas pikirannya. Sebagai Gubernur, ia mencabut izin reklamasi, walaupun kemudian dibatalkan pengadilan. Ketika COVID-19 melanda Indonesia, Anies melandaskan kebijakannya dengan dasar ilmiah.

Saya lebih sering setuju dengan pikiran-pikiran Anies. Anies ingin menjadikan pemerintah sebagai regulator, bukan pelaku bisnis. Anies ingin melakukan pemerataan pembangunan di 40 kota seluruh Indonesia. Anies memahami bahwa tol bukan solusi utama transportasi. Anies pro transportasi publik untuk semua kalangan. Anies mengkritik pembangunan IKN.

Ketika pun berbeda pendapat, warga bisa mendebat kebijakan Anies dengan argumen yang baik, bukan dengan takhayul, atau adu kuat kuasa.

Alasan terakhir adalah Anies bisa menginspirasi warga.

Kemampuan komunikasi dan persuasi Anies di atas rata-rata. Ia bisa pidato di depan publik dengan atau tanpa teks. Ia bisa menulis pidatonya sendiri. Kata-katanya dipilih dengan cermat. Gesturnya sengaja dibuat bermakna.

Anies menarik warga menjadi relawan. Warga datang sukarela ke acara kampanye. Warga membuat stiker, poster, bahkan website tanpa diminta. Warga bersepeda ratusan kilometer untuk menghadiri kampanyenya di Jakarta.

Ia bisa berdiplomasi langsung kepada negara sahabat. Ia memiliki jejaring luas di manca negara. Ia dapat menjawab sendiri pertanyaan orang yang ingin tahu isi kepalanya. Ia bahkan bisa meyakinkan organisasi dunia untuk mengadopsi sarannya.

Indonesia adalah negara besar dengan banyak kepala. Jalan untuk menyatukannya hanya ada dua: kata atau senjata. Saya tahu saya akan pilih yang mana.

Anies tentu punya kelemahan, ada banyak kritik baik yang valid maupun yang berupa fitnah. Anies bukan pimpinan partai, sehingga akan bergantung pada koalisi pendukungnya di DPR. Anies bukan orang kaya, bukan pebisnis. Ia tak punya banyak sumber daya untuk mempengaruhi pendukungnya. Anies memang menyandang nama belakang pejuang kemerdekaan, tapi ia tak punya jejaring keluarga ningrat politik. Anies juga tidak pandai bernyanyi.

Alasan-alasan di atas adalah mengapa menurut saya Anies adalah capres yang paling cocok melanjutkan estafet kepemimpinan Presiden Jokowi.

Latar belakang mereka mirip: warga sipil lulusan Gadjah Mada yang merintis dari bawah. Anies pernah menjadi menteri kabinet Presiden Jokowi. Anies juga berhasil melanjutkan tugas Presiden Jokowi sebagai gubernur Jakarta. Mereka memiliki sejarah yang berkelindan.

Anies tentu bukan Presiden Jokowi. Seringkali ide mereka berbeda: tentang pendidikan, ibukota, dan tata kelola negara. Saya senang ada yang berani mengatakan tidak kepada Presiden.

Presiden Joko Widodo telah memimpin stabilitas dan membangun infrastruktur Indonesia. Kini saatnya Anies Baswedan untuk melanjutkannya ke arah yang lebih baik.